Naruto Number 1

Pages

Thursday 9 April 2015

CERPEN-SEPASANG BAJU PENGANTIN



SEPASANG BAJU PENGANTIN
Hidup tak semudah membalikkan telapak tangan. Kata – kata ajaib itu yang selalu melekat di benaknya. Entah sejak kapan ia memaknai kata – kata itu sebagai hal yang menakutkan baginya. Kejadian tak terduga sering dialaminya.
“Rea.. kamu ngapain di sini?” panggil Reni mengagetkan lamunannya. Reni adalah sahabat Rea.
“Ya.. eh..ada apa?” Rea tergagap. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Tetapi dia terlihat risau.
“Kamu lagi ngapain? Dari tadi aku panggil nggak dijawab.” protes Reni.
“Aku nggak ngapa – ngapain kok, Cuma lagi menikmati hembusan angin, di kelas panas,” jawab Rea, dia mencoba terlihat ceria. Tetapi sorot matanya terlihat sedih dan kosong.
“Yuk makan, aku pengen makan mi goreng,” lanjut Rea cepat. Ia tak ingin Reni menanyakan apa – apa lagi padanya.
“Tapi….,” Reni tidak melanjutkan kata- katanya.
“Ayo cepat Ren, laper nih,” Rea berjalan cepat.
“Ayolah…,” Reni menurut dan mengikuti Rea menuju kantin Mbak Nah. Walaupun sebenarnya Reni penasaran kenapa Rea terlihat sedih dan murung akhir – akhir ini.
***


“KELUAR.. BAWA BARANG – BARANG KALIAN,” bentakan ayahnya terdengar dari luar. Rea cepat – cepat masuk rumah dan mendapatkan ibunya menangis.
“Ayah sudah…cukup yah. Kenapa ayah selalu memperlakukan kami seperti ini. Apa salah kami yah?” Rea menangis. Ia tidak tahan dengan sikap ayahnya. Sudah 2 bulan ini ayahnya selalu bersikap kasar kepadanya ibunya. Ayahnya sering pulang larut malam tanpa memberi alasan yang tepat.
“DIAM KAMU, NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN AYAH SAMA IBU!!” bentak ayahnya.
“AYAH KETERLALUAN…AYAH JAHAT’, Rea menatap ayahnya dengan penuh kebencian.
“KALIAN CUMA MEREPOTKAN, PERGI KALIAN DARI SINI, BAWA BARANG – BARANG KALIAN.” Ayah Rea semakin marah.
“KEMASI BARANG – BARANG KALIAN…JANGAN KEMBALI LAGI!” mukanya merah padam, sorot matanya penuh kebencian.
***
Rea menghela nafas panjang. Ia menatap dirinya sejenak di cermin, memantapkan hatinya dan bergegas untuk berangkat ke sekolah barunya. Sekolah baru? Ya, Rea memutuskan untuk pindah sekolah, seminggu setelah ia dan ibunya diusir dari rumah. Ia merasa malu dan takut bertemu dengan teman – temannya. Karena ia merasa tidak pantas berada di lingkungan mereka. Rea berharap dengan kepindahannya, ia akan bebas tanpa harus menutup – nutupi hubungan keluarganya yang kini sudah hancur. Ia berharap hari pertamanya akan menyenangkan. Ternyata ia salah. Rea tak mendapat sambutan baik sedikitpun dari teman – teman barunya. Rea semakin merasa kecil, asing, dan tersingkir. Ia tak menemukan kenyamanan di lingkungan barunya. Sangat sulit, pikirnya.
 Belasan pasang mata menatap sinis ke arahnya. Tatapan mata menyelidik terlihat jelas dari setiap pasang mata yang memandangnya. Sepertinya mereka sulit menerima siswa baru atau mungkin menentang adanya siswa pindahan ke kelas mereka. Membingungkan. Rea berjalan pelan – pelan, ia tak berani menatap teman – teman barunya. Ia berjalan menuju bangku kosong yang telah ditentukan gurunya saat  Rea mendaftar ke sekolah itu. Rea duduk di situ, ia melirik ke bangku sebelahnya. Pemilik bangku itu belum masuk kelas. Ia berharap teman sebangkunya itu tidak seperti yang lain.
Tidak lama kemudian Ibu Sri masuk. Ibu Sri adalah guru Bahasa Indonesia kelas 2. Ia tersenyum menatap Rea dan siswa – siswa yang lain. Ibu Sri duduk  di kursinya dan mulai mengabsen.  Namun siswa yang duduk sebangku dengan Rea tak kunjung datang.
Dari luar terdengar langkah kaki yang tergesa – gesa menuju kelas itu.
“Selamat pagi, Bu,” sapa Reni. Ya, anak itu bernama Reni.
“Maaf Bu, saya telat. Tadi saya sarapan dulu di kantin,” lanjutnya
“Ya, tidak apa – apa. Silahkan duduk,” Ibu Sri memaklumi Reni.
Reni menuju tempat duduknya. Sebelah Rea. Reni menatap Rea dan tersenyum. Senyum itu tulis. Rea bersyukur karena ia mendapatkan teman sebangku yang terlihat baik. Tetapi ia masih bingung dengan sikap teman – temannya yang lain. Mungkin mereka bersikap seperti itu karena belum kenal, pikirnya.
Rea diminta Bu Sri memperkenalkan diri. Ia bangkit dan melangkah dengan ragu – ragu. Di depan kelas, ia memperkenalkan diri. Dari semua teman – teman yang ada di hadapannya saat ini, hanya Reni yang terlihat antusias mendengarkannya. Murid – murid lain terlihat cuek. Mukanya tiba – tiba pucat, Rea lemas dan tak sadarkan diri. Ia pingsan. Bu Sri terkejut. Teman – temannya yang tadinya cuek, maju dan mengerumuni Rea. Bu Sri bangkit dari kursinya dan meminta salah satu dari mereka membawa Rea ke UKS.
            “Rea, kamu udah sadar?” tanya Reni ketika Rea sadar.
            “Tadi aku kenapa ya?” Rea balik bertanya.
            “Kamu pingsan tadi, kamu sakit?”
            “Gak kok, mungkin kecapean aja. Makasih ya Reni.” Rea menyalami Reni.
            “Iya sama – sama, kita ke kantin yuk. Makan dulu. Kamu pucat banget.” bujuk Reni.
Mereka berdua berjalan ke kantin dan memesan 2 roti coklat dan 2 gelas teh hangat.
***
            Rea memandangi foto keluarganya. Ia tersenyum, senyum yang sedih. Ia rindu kebersamaan itu. Kebersamaan yang selalu membuatnya tenang dan bersemangat menjalani hari – harinya.
            “Rea rindu ayah,” bisiknya.
Sudah 2 bulan ini, sejak ia dan ibunya diusir dari rumah itu, Rea tidak pernah melihat ayahnya. Tepatnya ia tidak ingin melihat ayahnya, untuk saat ini. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam Rea ingin sekali bertemu dengan ayahnya. Namun rasa kecewa dan kekesalannya selalu mengalahkan kerinduannya. Rea menangis, saat ini ia hanya bisa menangis.
Ibunya memandangi Rea dari luar. Tanpa disadari air matanya ikut menetes. Ibu Rea masuk dan memeluk Rea. Mata keduanya menerawang jauh ke luar jendela.
“Ibu tahu kamu rindu ayahmu,” Ibu Rea membuka percakapan.
“Ibu juga tahu, kamu merasa malu karena kami.”
“Ibu minta maaf, ayah dan ibu tidak bisa terus bersama. Karena ayahmu sudah tidak menyukai ibu. Ibu sudah berusaha bersabar dengan sikap ayahmu. Tapi ayahmu tidak menghargai usaha ibu sedikitpun,”
“Rea paham kondisi ibu,” ia berusaha mencerna kata – kata ibunya.
Ia memahami posisi ibunya saat ini. Ia merasakan kepedihan dan kekecewaan yang mendalam dalam setiap kata yang ibunya ucapkan. Rea kembali mentatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Ibunya hanya bisa memandangnya dengan sedih.
***
Rea sedang sibuk mencari buku pelajaran di sebuah toko buku bersama Reni, ketika tiba – tiba ia melihat sosok yang sangat ia kenal. AYAHNYA. Ayahnya datang bersama seorang perempuan, mereka terlihat begitu mesra.
DEGG. Jantung Rea berdegup kencang. Ia tak percaya melihat semua itu. Ia terus memperhatikan ayahnya dari jauh, ternyata selama ini ayahnya selingkuh.
            “Ayah…kenapa ayah lakukan ini,” bisiknya.
Ia memantapkan hati untuk mendekati ayahnya. Ayah Rea tidak menyadari kedatangannya.
            “Yah…,” teguran Rea mengejutkan ayahnya.
Ketika dilihatnya Rea ada dihadapannya, ayahnya terlihat gugup. Namun tatapannya menyiratkan kebencian. Tanpa berbicara apa – apa, ayah Rea berlalu pergi bersama perempuan itu. Rea lemas. Tubuhnya seolah tertimpa rak buku yang berjejer di belakangnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa yang harus ia katakana kepada ibunya nanti, Rea takut.
Reni yang dari tadi sibuk memilih buku, menyadari kalau Rea tidak ada bersamanya. Buku – buku yang ada di tangannya diletakkannya lagi. Ia heran melihat Rea menangis.
            “Kenapa kamu nangis Re? Ada apa?” tanya Reni heran.
Rea tidak menjawab. Ia tak tahu harus bilang apa. Ia tak ingin Reni tahu apa yang baru saja dialaminya. Rea malu menceritakannya.
“Aku mau pulang sekarang.”
Rea tidak menanggapi pertanyaan Reni. Dia berjalan cepat menuju pintu keluar. Tanpa berpikir panjang, Reni mengikutinya. Buku – buku yang sudah dipilihnya ditinggalkan begitu saja.
            “Rea…tunggu Re,” panggil Reni
            “Kamu kenapa nangis, cerita dong sama aku,” lanjut Reni
Rea menghentikan langkahnya. Ia memutuskan untuk menceritakannya ke Reni. Mereka menuju taman, memilih tempat duduk yang sepi. Rea menceritakan semuanya. Reni kaget, ia tidak pernah menyangka Rea memiliki masalah seberat itu.
            “Kehidupan memang tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan indah pada waktunya,” Reni Mencoba menenangkan Rea.
Mereka berdua berjalan pulang. Sepanjang jalan Rea terdiam. Ia tak mempedulikan hal – hal di sekitarnya. Reni mengerti itu, ia memilih untuk diam juga. Ia berjalan di samping Rea, sesekali ia melirik ke arah Rea. Sunyi.
***
            Rea pingsan lagi. Ia terbaring di ruanng UKS ditemani Reni dan wali kelasnya. Wajahnya pucat. Ketika ia terbangun, ia merasakan perutnya sangat sakit. Baru kali ini ia merasakan hal itu. Rea meringis kesakitan. Reni yang berada di sampingnya segera mengambilkan teh hangat untuknya.
            “Perutku sakit banget, Ren. Kenapa ya?”
            “Udah sarapan tadi?”
            “Udah sih.. yuk balik ke kelas aja.”
Rea memaksa masuk kelas, walaupun perutnya masih terasa sakit. Sesampainya di kelas, bel masuk berbunyi. Teman – temannya yang tadi ribut, terdiam melihat Rea. Beberapa di antara mereka ada yang sudah bersikap biasa. Beberapa di antara mereka menanyakan keadaannya. Rea tersenyum, ia ingin terlihat baik – baik saja di hadapan teman – temannya.
Bel pulang berbunyi. Perut Rea masih terasa sakit. Ia bangkit, mengumpulkan tenaganya. Reni menggandengnya, memastikan sahabatnya kuat untuk bejalan. Sesampai di parkiran,  ternyata mama Reni sudah menunggu sejak tadi.
            “Mama…sudah lama? Tumben jemput?” tanya Reni girang.
            “Belum. Kebetulan tadi mama lewat sini, jadi sekalian deh.”
            “Oh gitu.Oia ma, kenalin ini sahabatku, namanya Rea.”
Rea yang sejak tadi menunduk karena mnahan sakit langsung mendongak, dan tersenyum. Namun senyumnya segera menghilang.  Mama Reni mirip sekali dengan perempuan yang bersama ayahnya waktu itu. Ia meyakinkan dirinya. Tak mungkin salah, benar – benar mirip. Impossible. Ia menatap mama Reni tanpa berkedip.  
            “Rea, ayo aku antar pulang.”
            Nggak usah, aku nail angkot aja,” Rea menolak. Ia masih shock.
            “Ayolah…kamu kan masih sakit,” bujuk Reni          
            “Tapi…,” Rea berusaha menolak
            “Udah…ayolah, mamaku udah nunggu tuh.”
Karena Reni terus membujuk, akhirnya Rea menurut juga. Ia masuk mobil dan mengatur posisi duduknya. Rea memperhatikan setiap sudut mobil itu. Mewah dan berseni. Rea memusatkan perhatian ke dashboard mobil itu, ada foto Reni dan ibunya. Selain itu ada foto lain yang menarik perhatiannya. Rea memperhatikannya. Foto seorang laki – laki, dan ia sangat mengenal laki – laki itu. Rea pucat pasi. Jantungnya seperti baru saja ditikam tombak. Foto yang dipajang di dashboard mobil itu adalah foto ayahnya. Rea memutuskan untuk turun, ia tidak mau berlama – lama dengan orang yang merusak hubungan keluarganya.
            “Tante,saya turun sini aja,” ada kesan marah saat ia mengucapkannya.
            “Loh, emang kenapa Ren?” tanya Reni bingung.
            “Nggak kok. Aku naik angkot aja,” Rea menjawab sinis.
Rea keluar dari mobil tanpa permisi. Reni melongo, heran dengan sikap Rea yang tiba – tiba berubah. Rea masih tak percaya, ibu sahabatnya yang telah membutakan mata hati ayahnya. Rea berjalan cepat menuju taman kota. Ia tak berniat untuk langsung pulang. Tangisnya pecah, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tak tahu harus mencurahkan isi hatinya pada siapa saat ini. Reni yang biasanya selalu mendengarkan keluh kesahnya, saat ini tidak lagi bisa diharapkan. Ia teringat perkataan Reni waktu iu, saat ia menceritakan pertemuan dengan ayahnya di toko buku.
            “Kamu benar Ren, hidup tak semudah membalikkan telapak tangan. Ibumu merebut ayahku. Ibumu menghancurkan keluargaku. ”
Ia merebahkan diri, hembusan angin menemani kesedihannya sore itu. Ia memutar lagu klasik kesukaannya. Mencoba menenangkan diri, ia memejamkan matanya.
            “Neng.”
Samar – samar Rea mendengar ada yang memanggilnya. Ia membuka matanya. Rea terperanjat. Sudah gelap. Ia melihat jam di handphonenya. Entah sudah berapa lama ia berada di situ. Ia bangkit dan membereskan tasnya dan mengucapkan terimakasih kepada satpam yang membangunkannya tadi.
            Sesampainya di rumah, ternyata ibunya sudah tidur. Rea langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Pikirannya kembali kacau. Rea tidak ingin ibunya mengetahui hal itu. Ia memilih untuk diam. Rea mengecek handphonenya, ada belasan missedcall dari Reni. Tak ada niat untuk menghubungi sahabatnya itu, ia mematikan handphonenya.
***
            Pertemuan itu membuatnya malas bertemu Reni. Ia ingin menghindar dari Reni untuk sementara waktu, sampai ia bisa mengontrol emosinya. Ibunya heran dengan sikap Rea pagi itu. Namun ibunya enggan bertanya dan memilih untuk diam.
Rea membereskan kamarnya dan bersiap untuk pergi. Bukan ke sekolah, ia bolos sekolah hari itu. Ia ada rencana  lain.
            “Bu, Rea pamit?”
            “Mau kemana?” tanya ibu Rea heran.
            “Mau jalan – jalan aja, Bu.”
            “Ya sudah hati – hati ya, jangan ngebut.”
Rea terpaksa berbohong. Sebenarnya ia ingin ke rumah ayahnya.
            Mobil ayahnya masih ada. Rea menunggu di warung tempat ia biasa jajan dulu. Ia berniat mengikuti kemana ayahnya pergi. Tak sampai 10 menit menunggu, ia melihat mobil ayahnya keluar. Rea mengikutinya, ia tak terlihat seperti biasanya. Rea menyamar.
Mobil ayahnya menuju sebuah rumah makan khas Jawa. Rea memarkirkan motornya agak jauh dari mobil ayahnya. Rea berdecak melihat rumah makan itu. Bangunannya terkesan kuno tapi memiliki nilai seni yang tinggi. Rea kembali memusatkan perhatiannya. Ayahnya sedang menunggu seseorang. Rea memilih tempat duduk tepat di belakang ayahnya. Tak lama kemudian, orang yang ditunggu ayahnya datang. Perempuan yang sama. Rea pura – pura memilih makanan. Rea terus memperhatikan mereka. Ia ingin sekali mendatangi mereka. Namun perasaan itu ditepisnya. Hatinya benar – benar hancur. Ia menelungkupkan kepalanya, menangis dalam diam. Ia tak menyadari kalau ayahnya sudah pergi. Saat ia menoleh ke tempat ayahnya duduk tadi, mereka berdua sudah tidak ada.
            “Bodoh!!!,” Rea merutuki dirinya.
Rea memperhatikan setiap sudut tempat itu, berharap ayahnya masih berada di tempat iti. Sia – sia. Rea tak menemukan sosok ayahnya.
Rea bangkit. Ia memutuskan pulang ke rumahnya. Namun tiba –tiba perutnya terasa sakit. Rea kembali duduk, ia menekan perutnya. Sudah 3 kali ini ia mengalami hal ini. Rea memaksakan dirinya, tapi tubuhnya lemas menahan sakit. Baru beberapa langkah berjalan, pandangannya gelap. Ia merasa seperti tidak berpijak di lantai. Rea roboh, ia tak sadarkan diri. Salah satu pengunjung rumah makan itu langsung membawanya ke rumah sakit.
            Telepon di rumah Rea berbunyi. Ibu Rea yang saat itu sedang memasak, menghentikan aktifitasnya.
            “Halo.”
            “Dengan ibunya Rea ?”
            “Iya benar, ada apa ya?”
            “Kami dari rumah sakit. Tadi Rea pingsan, sekarang Rea ada di RS Kasih Tanpa Batas. Tolong ibu segera kesini.”
            “Iya pak, saya akan segera kesana. Terimakasih,” nada khawatir terdengar jelas dari suaranya.
            Sesampainya di rumah sakit, ibunya langsung menanyakan ruangan dimana Rea dirawat ke bagian receptionist. Ia sangat khawatir dengan kondisi Rea. Ketika ibunya masuk, ternyata Rea sudah sadar.
            “Rea, kamu kenapa nak?”
            “Nggak tau, Bu. Tiba – tiba tadi lemas banget, perut Rea sakit.”
            “Memangnya kamu tadi dari mana sih?”
Rea terdiam. Ia bingung apa yang harus dikatakan kepada ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya sedih. Rea menatap ibunya, ia tak tega.
            “Ibu masih sayang ayah?”
            “Ibu selalu menyayangi ayahmu.”
            “Tapi ayah selingkuh, Bu. Aku membencinya.”
            “Jangan begitu. Dia itu ayahmu. Setiap orang punya kesalahan kan? Semua akan indah pada waktunya Re.”
            “Pencobaan membuat sebagian orang jatuh, tetapi sebagian orang lagi menggunakannya sebagai tangga menuju keberhasilan. Walaupun ayahmu sekarang meninggalkan ibu, tapi ibu tidak akan menyerah. Ibu akan berusaha.”
Rea diam. Ia membenarkan perkataan ibunya. Rea yakin ayahnya akan berubah. Ia tidak menanyakan apa – apa lagi pada ibunya.
            “Tuhan tidak pernah mempertanyakan kemampuan dan ketidakmampuan kita, melainkan kesediaan kita unuk berusaha. Yakinlah, Tuhan pasti buka jalan.”
Rea memeluk ibunya, ia bangga dengan ketegaran hati ibunya. Kata – kata ibunya membuatnya tenang. Ia tersenyum.
Dokter Risma masuk. Ia tersenyum menatap Rea, lalu ia mengajak ibu Rea ke ruang kerjanya.
            “Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, anak ibu didiagnosa mengalami gagal ginjal.” Dokter Risma memberi penjelasan.
            “Gagal ginjal dok?”  ibu Rea sangat terkejut mendengarnya.
            “Ya..Kami menyarankan agar melakukan transplantasi ginjal secepatnya.”
            “Baik dok. Saya permisi dulu.”
Ibunya keluar dari ruang dokter. Ia masih tak percaya anaknya mengalami gagal ginjal.
            Rea sudah tak sabar ingin mengetahui hasil pemeriksaan penyakitnya. Ia ingin langsung menanyakan pada ibunya, namun ibunya tampak sedih. Ia tak siap mendengar jawaban ibunya. Ia menatap ibunya. Ibunya masih diam. Rea semakin takut, ia benar – benar tidak siap.
            “Aku menyayangi ibu apapun yang terjadi.” Rea menatap ibunya.
            “Jangan pernah menyerah,” ibunya masih bingung untuk memberitahu Rea.
            “Dokter bilang kamu mengalami gagal ginjal Re,”
            “Gagal ginjal, Bu?”
            “Ibu jangan bilang siapa – siapa ya, termasuk ayah.” ibunya mengangguk dan memeluknya.
            “Ibu pergi dulu ya, kalau ada apa – apa telfon ibu.”
            Rea sendirian. Ia merenungkan kata – kata ibunya, berusaha meresapi setiap kata demi kata yang diucapkan ibunya. Tiba – tiba ekspresinya berubah. Senyum mengembang di bibirnya.
            “Ya.. Ibu benar. Aku tidak boleh egois.”
Rea lalu mengambil handphone dan mangaktifkannya. Ada beberapa pesan dari teman – temannya, termasuk Reni. Mereka menanyakan kenapa Rea tidak pernah masuk sekolah beberapa hari ini. Rea hanya tersenyum.
            Reni, maaf ya soal kemarin. Aku lagi ada sedikit masalah jadi nggak bisa mengontrol emosi. Maaf banget ya.” Rea mengetikkan pesan dan mengirimkannya.
Rea tidak menyinggung soal mama Rea. Ia tidak ingin masalah ini merusak persahabatannya. Ia masih menyimpan rahasia itu sendiri.
***
Sudah 5 hari Rea tidak masuk sekolah. Ia masih dirawat di rumah sakit. Namun tidak ada teman yang tahu kondisinya saat ini. Ia masih merahasiakannya.
Hari itu adalah jadwal Rea melakukan transplantasi ginjal. Rea hanya ditemani ibunya. Ia berusaha tegar di depan ibunya, walaupun sebenarnya ia sangat takut.
“Bu…maafkan Rea udah banyak salah sama ibu. Tanpa ibu Rea tak akan sekuat ini. Terimaksih buat semua pengorbanan ibu. Andai ayah juga ada di sini, sisa rasa takutku akan lenyap. Rea berharap saat Rea membuka mata nanti,  ayah ada di sini. ”
Rea menangis. Air matanya membasahi mukanya yang pucat. Ibu Rea memeluknya erat. Ibu Rea tak mengatakan apa – apa. Ibunya merasakan ketakutan Rea. Ia juga berharap ayah Rea ada bersamanya saat ini.
Rea sudah berada di ruang operasi. Ibu Rea memandangnya dari luar. Ia khawatir. Namun ia percaya bahwa Tuhan akan menolongnya. Ibu Rea terus berdoa. Ia tak menyadari kalau ayah Rea ada di belakangnya juga. Ibu Rea terkejut ketika membalikkan badan.
            “Ayah.. Ayah datang?”
Ya. Ibu Rea memberitahu suaminya bahwa Rea sakit. Namun ia tidak tahu kalau suaminya akan datang. Karena saat diberitahu, suaminya tidak memberikan respon apapun.
            “Terimakasih, kamu masih peduli sama Rea.”
Ayah Rea tersenyum. Senyum itu tulus dan penuh arti.
“Maafkan aku... Selama ini aku salah. Kebahagiaan tidak kudapat di luar… Tapi bahagia yang sebenarnya adalah bersama kalian. Maukah kau memaafkanku?”
***
            Rea sudah sadar. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Reni berbinar saat Rea membuka mata. Rea sempat kaget, saat melihat Reni ada di situ.
            “Reni… Kamu kok tahu aku di sini? Ibuku mana?”
            “Ibumu meneleponku, aku disuruh datang kesini nemenin kamu. Katanya ada urusan sebentar. Lagian kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit?” protes Reni.
            “Aku nggak mau ngrepotin.”
            “Oia… gimana kabar mama kamu?”
            “Baik kok… kenapa tiba – tiba nanyain mamaku?” Tanya Reni heran.
            “Nggak kok…”
Tiba – tiba office boy rumah sakit itu datang, ia mempersilahkan seseorang masuk.
            “Ayah….”
Ayah Rea mendekatinya. Rea memperhatikan ayahnya, ayahnya mengenakan pakaian pengantin. Ia juga heran karena ayahnya menggunakan kursi roda.
            “Bagaimana keadaanmu?” tanya ayahnya
            “Ayah mau menikah lagi?” mata Rea berkaca – kaca, ia tak menghiraukan pertanyaan ayahnya.
            “Apakah kamu keberatan?”
Rea diam. Ia tak mengerti apa maksud kedatangan ayahnya memakai baju pengantin seperti itu. Mungkin hanya ingin membuat luka di hatinya lagi, pikirnya.
            “Apakah kamu keberatan kalau ayahmu menikahi ibu lagi?” Ibu Rea muncul dengan mengenakan baju pengantin dengan warna yang sama seperti ayahnya.
Ayah dan ibu Rea belum bercerai, namun mereka ingin memberi kejutan untuk Rea dengan memakai pakaian itu.
            “Rea…kita akan sama – sama lagi, seperti dulu.” ibunya meyakinkan Rea.
            “Jadi…” Rea tidak melanjutkan kata – katanya. Ia menangis haru.
            “Ayahmu juga yang mendonorkan ginjalnya untukmu.”
Rea memeluk ayahnya. Ia tak mengira ayahnya akan melakukan hal itu untuknya.
            “Ayah… trimakasih. Ayah telah menutup luka itu dengan sempurna.”
            “Tidak Rea, ayah yang berterimakasih… Ayah beruntung memiliki kalian berdua. Kalian seperti permata yang ayah buang, lalu ayah temukan kembali. Walaupun ayah sudah membuat kalian kecewa, tapi kalian tetap menyayangi ayah.”
***
*Pengorbanan tidak dinilai dari hasilnya saja, tetapi seberapa besar usaha untuk melakukannya.
*Kebaikan yang tiada henti dapat mengerjakan banyak hal. Seperti matahari yang melelehkan es, kebaikan akan membuat pertengkaran dan kekecewaan menguap.