SEPASANG BAJU PENGANTIN
Hidup
tak semudah membalikkan telapak tangan. Kata – kata ajaib itu yang selalu
melekat di benaknya. Entah sejak kapan ia memaknai kata – kata itu sebagai hal
yang menakutkan baginya. Kejadian tak terduga sering dialaminya.
“Rea..
kamu ngapain di sini?” panggil Reni mengagetkan lamunannya. Reni adalah sahabat
Rea.
“Ya..
eh..ada apa?” Rea tergagap. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Tetapi dia
terlihat risau.
“Kamu
lagi ngapain? Dari tadi aku panggil nggak dijawab.” protes Reni.
“Aku
nggak ngapa – ngapain kok, Cuma lagi menikmati hembusan angin, di kelas panas,”
jawab Rea, dia mencoba terlihat ceria. Tetapi sorot matanya terlihat sedih dan
kosong.
“Yuk
makan, aku pengen makan mi goreng,” lanjut Rea cepat. Ia tak ingin Reni
menanyakan apa – apa lagi padanya.
“Tapi….,”
Reni tidak melanjutkan kata- katanya.
“Ayo
cepat Ren, laper nih,” Rea berjalan cepat.
“Ayolah…,”
Reni menurut dan mengikuti Rea menuju kantin Mbak Nah. Walaupun sebenarnya Reni
penasaran kenapa Rea terlihat sedih dan murung akhir – akhir ini.
***
“KELUAR..
BAWA BARANG – BARANG KALIAN,” bentakan ayahnya terdengar dari luar. Rea cepat –
cepat masuk rumah dan mendapatkan ibunya menangis.
“Ayah
sudah…cukup yah. Kenapa ayah selalu memperlakukan kami seperti ini. Apa salah kami
yah?” Rea menangis. Ia tidak tahan dengan sikap ayahnya. Sudah 2 bulan ini
ayahnya selalu bersikap kasar kepadanya ibunya. Ayahnya sering pulang larut
malam tanpa memberi alasan yang tepat.
“DIAM
KAMU, NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN AYAH SAMA IBU!!” bentak ayahnya.
“AYAH
KETERLALUAN…AYAH JAHAT’, Rea menatap ayahnya dengan penuh kebencian.
“KALIAN
CUMA MEREPOTKAN, PERGI KALIAN DARI SINI, BAWA BARANG – BARANG KALIAN.” Ayah Rea
semakin marah.
“KEMASI
BARANG – BARANG KALIAN…JANGAN KEMBALI LAGI!” mukanya merah padam, sorot matanya
penuh kebencian.
***
Rea
menghela nafas panjang. Ia menatap dirinya sejenak di cermin, memantapkan
hatinya dan bergegas untuk berangkat ke sekolah barunya. Sekolah baru? Ya, Rea
memutuskan untuk pindah sekolah, seminggu setelah ia dan ibunya diusir dari
rumah. Ia merasa malu dan takut bertemu dengan teman – temannya. Karena ia
merasa tidak pantas berada di lingkungan mereka. Rea berharap dengan
kepindahannya, ia akan bebas tanpa harus menutup – nutupi hubungan keluarganya
yang kini sudah hancur. Ia berharap hari pertamanya akan menyenangkan. Ternyata
ia salah. Rea tak mendapat sambutan baik sedikitpun dari teman – teman barunya.
Rea semakin merasa kecil, asing, dan tersingkir. Ia tak menemukan kenyamanan di
lingkungan barunya. Sangat sulit, pikirnya.
Belasan pasang mata menatap sinis ke arahnya.
Tatapan mata menyelidik terlihat jelas dari setiap pasang mata yang
memandangnya. Sepertinya mereka sulit menerima siswa baru atau mungkin
menentang adanya siswa pindahan ke kelas mereka. Membingungkan. Rea berjalan
pelan – pelan, ia tak berani menatap teman – teman barunya. Ia berjalan menuju
bangku kosong yang telah ditentukan gurunya saat Rea mendaftar ke sekolah itu. Rea duduk di
situ, ia melirik ke bangku sebelahnya. Pemilik bangku itu belum masuk kelas. Ia
berharap teman sebangkunya itu tidak seperti yang lain.
Tidak
lama kemudian Ibu Sri masuk. Ibu Sri adalah guru Bahasa Indonesia kelas 2. Ia
tersenyum menatap Rea dan siswa – siswa yang lain. Ibu Sri duduk di kursinya dan mulai mengabsen. Namun siswa yang duduk sebangku dengan Rea
tak kunjung datang.
Dari
luar terdengar langkah kaki yang tergesa – gesa menuju kelas itu.
“Selamat
pagi, Bu,” sapa Reni. Ya, anak itu bernama Reni.
“Maaf
Bu, saya telat. Tadi saya sarapan dulu di kantin,” lanjutnya
“Ya,
tidak apa – apa. Silahkan duduk,” Ibu Sri memaklumi Reni.
Reni
menuju tempat duduknya. Sebelah Rea. Reni menatap Rea dan tersenyum. Senyum itu
tulis. Rea bersyukur karena ia mendapatkan teman sebangku yang terlihat baik.
Tetapi ia masih bingung dengan sikap teman – temannya yang lain. Mungkin mereka
bersikap seperti itu karena belum kenal, pikirnya.
Rea
diminta Bu Sri memperkenalkan diri. Ia bangkit dan melangkah dengan ragu –
ragu. Di depan kelas, ia memperkenalkan diri. Dari semua teman – teman yang ada
di hadapannya saat ini, hanya Reni yang terlihat antusias mendengarkannya.
Murid – murid lain terlihat cuek. Mukanya tiba – tiba pucat, Rea lemas dan tak
sadarkan diri. Ia pingsan. Bu Sri terkejut. Teman – temannya yang tadinya cuek,
maju dan mengerumuni Rea. Bu Sri bangkit dari kursinya dan meminta salah satu
dari mereka membawa Rea ke UKS.
“Rea, kamu udah sadar?” tanya Reni
ketika Rea sadar.
“Tadi aku kenapa ya?” Rea balik
bertanya.
“Kamu pingsan tadi, kamu sakit?”
“Gak kok, mungkin kecapean aja.
Makasih ya Reni.” Rea menyalami Reni.
“Iya sama – sama, kita ke kantin
yuk. Makan dulu. Kamu pucat banget.” bujuk Reni.
Mereka
berdua berjalan ke kantin dan memesan 2 roti coklat dan 2 gelas teh hangat.
***
Rea memandangi foto keluarganya. Ia
tersenyum, senyum yang sedih. Ia rindu kebersamaan itu. Kebersamaan yang selalu
membuatnya tenang dan bersemangat menjalani hari – harinya.
“Rea rindu ayah,” bisiknya.
Sudah
2 bulan ini, sejak ia dan ibunya diusir dari rumah itu, Rea tidak pernah melihat
ayahnya. Tepatnya ia tidak ingin melihat ayahnya, untuk saat ini. Tapi di lubuk
hatinya yang paling dalam Rea ingin sekali bertemu dengan ayahnya. Namun rasa
kecewa dan kekesalannya selalu mengalahkan kerinduannya. Rea menangis, saat ini
ia hanya bisa menangis.
Ibunya
memandangi Rea dari luar. Tanpa disadari air matanya ikut menetes. Ibu Rea
masuk dan memeluk Rea. Mata keduanya menerawang jauh ke luar jendela.
“Ibu
tahu kamu rindu ayahmu,” Ibu Rea membuka percakapan.
“Ibu
juga tahu, kamu merasa malu karena kami.”
“Ibu
minta maaf, ayah dan ibu tidak bisa terus bersama. Karena ayahmu sudah tidak
menyukai ibu. Ibu sudah berusaha bersabar dengan sikap ayahmu. Tapi ayahmu
tidak menghargai usaha ibu sedikitpun,”
“Rea
paham kondisi ibu,” ia berusaha mencerna kata – kata ibunya.
Ia
memahami posisi ibunya saat ini. Ia merasakan kepedihan dan kekecewaan yang
mendalam dalam setiap kata yang ibunya ucapkan. Rea kembali mentatap keluar
jendela dengan tatapan kosong. Ibunya hanya bisa memandangnya dengan sedih.
***
Rea
sedang sibuk mencari buku pelajaran di sebuah toko buku bersama Reni, ketika
tiba – tiba ia melihat sosok yang sangat ia kenal. AYAHNYA. Ayahnya datang
bersama seorang perempuan, mereka terlihat begitu mesra.
DEGG.
Jantung Rea berdegup kencang. Ia tak percaya melihat semua itu. Ia terus
memperhatikan ayahnya dari jauh, ternyata selama ini ayahnya selingkuh.
“Ayah…kenapa ayah lakukan ini,”
bisiknya.
Ia
memantapkan hati untuk mendekati ayahnya. Ayah Rea tidak menyadari
kedatangannya.
“Yah…,” teguran Rea mengejutkan
ayahnya.
Ketika
dilihatnya Rea ada dihadapannya, ayahnya terlihat gugup. Namun tatapannya
menyiratkan kebencian. Tanpa berbicara apa – apa, ayah Rea berlalu pergi
bersama perempuan itu. Rea lemas. Tubuhnya seolah tertimpa rak buku yang berjejer
di belakangnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa yang harus
ia katakana kepada ibunya nanti, Rea takut.
Reni
yang dari tadi sibuk memilih buku, menyadari kalau Rea tidak ada bersamanya.
Buku – buku yang ada di tangannya diletakkannya lagi. Ia heran melihat Rea
menangis.
“Kenapa kamu nangis Re? Ada apa?”
tanya Reni heran.
Rea
tidak menjawab. Ia tak tahu harus bilang apa. Ia tak ingin Reni tahu apa yang
baru saja dialaminya. Rea malu menceritakannya.
“Aku
mau pulang sekarang.”
Rea
tidak menanggapi pertanyaan Reni. Dia berjalan cepat menuju pintu keluar. Tanpa
berpikir panjang, Reni mengikutinya. Buku – buku yang sudah dipilihnya
ditinggalkan begitu saja.
“Rea…tunggu Re,” panggil Reni
“Kamu kenapa nangis, cerita dong sama
aku,” lanjut Reni
Rea
menghentikan langkahnya. Ia memutuskan untuk menceritakannya ke Reni. Mereka
menuju taman, memilih tempat duduk yang sepi. Rea menceritakan semuanya. Reni
kaget, ia tidak pernah menyangka Rea memiliki masalah seberat itu.
“Kehidupan memang tak semudah
membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan indah pada waktunya,” Reni
Mencoba menenangkan Rea.
Mereka
berdua berjalan pulang. Sepanjang jalan Rea terdiam. Ia tak mempedulikan hal –
hal di sekitarnya. Reni mengerti itu, ia memilih untuk diam juga. Ia berjalan
di samping Rea, sesekali ia melirik ke arah Rea. Sunyi.
***
Rea pingsan lagi. Ia terbaring di
ruanng UKS ditemani Reni dan wali kelasnya. Wajahnya pucat. Ketika ia
terbangun, ia merasakan perutnya sangat sakit. Baru kali ini ia merasakan hal
itu. Rea meringis kesakitan. Reni yang berada di sampingnya segera mengambilkan
teh hangat untuknya.
“Perutku sakit banget, Ren. Kenapa
ya?”
“Udah sarapan tadi?”
“Udah sih.. yuk balik ke kelas aja.”
Rea
memaksa masuk kelas, walaupun perutnya masih terasa sakit. Sesampainya di
kelas, bel masuk berbunyi. Teman – temannya yang tadi ribut, terdiam melihat
Rea. Beberapa di antara mereka ada yang sudah bersikap biasa. Beberapa di
antara mereka menanyakan keadaannya. Rea tersenyum, ia ingin terlihat baik –
baik saja di hadapan teman – temannya.
Bel
pulang berbunyi. Perut Rea masih terasa sakit. Ia bangkit, mengumpulkan
tenaganya. Reni menggandengnya, memastikan sahabatnya kuat untuk bejalan.
Sesampai di parkiran, ternyata mama Reni
sudah menunggu sejak tadi.
“Mama…sudah lama? Tumben jemput?” tanya
Reni girang.
“Belum. Kebetulan tadi mama lewat
sini, jadi sekalian deh.”
“Oh gitu.Oia ma, kenalin ini
sahabatku, namanya Rea.”
Rea
yang sejak tadi menunduk karena mnahan sakit langsung mendongak, dan tersenyum.
Namun senyumnya segera menghilang. Mama
Reni mirip sekali dengan perempuan yang bersama ayahnya waktu itu. Ia
meyakinkan dirinya. Tak mungkin salah, benar – benar mirip. Impossible. Ia menatap mama Reni tanpa
berkedip.
“Rea, ayo aku antar pulang.”
Nggak usah, aku nail angkot aja,”
Rea menolak. Ia masih shock.
“Ayolah…kamu
kan masih sakit,” bujuk Reni
“Tapi…,” Rea berusaha menolak
“Udah…ayolah, mamaku udah nunggu
tuh.”
Karena
Reni terus membujuk, akhirnya Rea menurut juga. Ia masuk mobil dan mengatur
posisi duduknya. Rea memperhatikan setiap sudut mobil itu. Mewah dan berseni.
Rea memusatkan perhatian ke dashboard mobil
itu, ada foto Reni dan ibunya. Selain itu ada foto lain yang menarik
perhatiannya. Rea memperhatikannya. Foto seorang laki – laki, dan ia sangat
mengenal laki – laki itu. Rea pucat pasi. Jantungnya seperti baru saja ditikam
tombak. Foto yang dipajang di dashboard
mobil itu adalah foto ayahnya. Rea memutuskan untuk turun, ia tidak mau berlama
– lama dengan orang yang merusak hubungan keluarganya.
“Tante,saya turun sini aja,” ada
kesan marah saat ia mengucapkannya.
“Loh, emang kenapa Ren?” tanya Reni
bingung.
“Nggak kok. Aku naik angkot aja,”
Rea menjawab sinis.
Rea
keluar dari mobil tanpa permisi. Reni melongo, heran dengan sikap Rea yang tiba
– tiba berubah. Rea masih tak percaya, ibu sahabatnya yang telah membutakan
mata hati ayahnya. Rea berjalan cepat menuju taman kota. Ia tak berniat untuk
langsung pulang. Tangisnya pecah, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tak
tahu harus mencurahkan isi hatinya pada siapa saat ini. Reni yang biasanya
selalu mendengarkan keluh kesahnya, saat ini tidak lagi bisa diharapkan. Ia
teringat perkataan Reni waktu iu, saat ia menceritakan pertemuan dengan ayahnya
di toko buku.
“Kamu benar Ren, hidup tak semudah
membalikkan telapak tangan. Ibumu merebut ayahku. Ibumu menghancurkan
keluargaku. ”
Ia
merebahkan diri, hembusan angin menemani kesedihannya sore itu. Ia memutar lagu
klasik kesukaannya. Mencoba menenangkan diri, ia memejamkan matanya.
“Neng.”
Samar
– samar Rea mendengar ada yang memanggilnya. Ia membuka matanya. Rea
terperanjat. Sudah gelap. Ia melihat jam di handphonenya.
Entah sudah berapa lama ia berada di situ. Ia bangkit dan membereskan tasnya
dan mengucapkan terimakasih kepada satpam yang membangunkannya tadi.
Sesampainya di rumah, ternyata
ibunya sudah tidur. Rea langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Pikirannya
kembali kacau. Rea tidak ingin ibunya mengetahui hal itu. Ia memilih untuk diam.
Rea mengecek handphonenya, ada
belasan missedcall dari Reni. Tak ada
niat untuk menghubungi sahabatnya itu, ia mematikan handphonenya.
***
Pertemuan itu membuatnya malas
bertemu Reni. Ia ingin menghindar dari Reni untuk sementara waktu, sampai ia
bisa mengontrol emosinya. Ibunya heran dengan sikap Rea pagi itu. Namun ibunya
enggan bertanya dan memilih untuk diam.
Rea
membereskan kamarnya dan bersiap untuk pergi. Bukan ke sekolah, ia bolos
sekolah hari itu. Ia ada rencana lain.
“Bu, Rea pamit?”
“Mau kemana?” tanya ibu Rea heran.
“Mau jalan – jalan aja, Bu.”
“Ya sudah hati – hati ya, jangan
ngebut.”
Rea
terpaksa berbohong. Sebenarnya ia ingin ke rumah ayahnya.
Mobil ayahnya masih ada. Rea
menunggu di warung tempat ia biasa jajan dulu. Ia berniat mengikuti kemana
ayahnya pergi. Tak sampai 10 menit menunggu, ia melihat mobil ayahnya keluar.
Rea mengikutinya, ia tak terlihat seperti biasanya. Rea menyamar.
Mobil
ayahnya menuju sebuah rumah makan khas Jawa. Rea memarkirkan motornya agak jauh
dari mobil ayahnya. Rea berdecak melihat rumah makan itu. Bangunannya terkesan
kuno tapi memiliki nilai seni yang tinggi. Rea kembali memusatkan perhatiannya.
Ayahnya sedang menunggu seseorang. Rea memilih tempat duduk tepat di belakang
ayahnya. Tak lama kemudian, orang yang ditunggu ayahnya datang. Perempuan yang
sama. Rea pura – pura memilih makanan. Rea terus memperhatikan mereka. Ia ingin
sekali mendatangi mereka. Namun perasaan itu ditepisnya. Hatinya benar – benar
hancur. Ia menelungkupkan kepalanya, menangis dalam diam. Ia tak menyadari
kalau ayahnya sudah pergi. Saat ia menoleh ke tempat ayahnya duduk tadi, mereka
berdua sudah tidak ada.
“Bodoh!!!,” Rea merutuki dirinya.
Rea
memperhatikan setiap sudut tempat itu, berharap ayahnya masih berada di tempat
iti. Sia – sia. Rea tak menemukan sosok ayahnya.
Rea
bangkit. Ia memutuskan pulang ke rumahnya. Namun tiba –tiba perutnya terasa
sakit. Rea kembali duduk, ia menekan perutnya. Sudah 3 kali ini ia mengalami
hal ini. Rea memaksakan dirinya, tapi tubuhnya lemas menahan sakit. Baru
beberapa langkah berjalan, pandangannya gelap. Ia merasa seperti tidak berpijak
di lantai. Rea roboh, ia tak sadarkan diri. Salah satu pengunjung rumah makan
itu langsung membawanya ke rumah sakit.
Telepon di rumah Rea berbunyi. Ibu
Rea yang saat itu sedang memasak, menghentikan aktifitasnya.
“Halo.”
“Dengan ibunya Rea ?”
“Iya benar, ada apa ya?”
“Kami dari rumah sakit. Tadi Rea
pingsan, sekarang Rea ada di RS Kasih Tanpa Batas. Tolong ibu segera kesini.”
“Iya pak, saya akan segera kesana.
Terimakasih,” nada khawatir terdengar jelas dari suaranya.
Sesampainya di rumah sakit, ibunya
langsung menanyakan ruangan dimana Rea dirawat ke bagian receptionist. Ia sangat khawatir dengan kondisi Rea. Ketika ibunya
masuk, ternyata Rea sudah sadar.
“Rea, kamu kenapa nak?”
“Nggak tau, Bu. Tiba – tiba tadi
lemas banget, perut Rea sakit.”
“Memangnya kamu tadi dari mana sih?”
Rea
terdiam. Ia bingung apa yang harus dikatakan kepada ibunya. Ia tak ingin
membuat ibunya sedih. Rea menatap ibunya, ia tak tega.
“Ibu masih sayang ayah?”
“Ibu selalu menyayangi ayahmu.”
“Tapi ayah selingkuh, Bu. Aku
membencinya.”
“Jangan begitu. Dia itu ayahmu.
Setiap orang punya kesalahan kan? Semua akan indah pada waktunya Re.”
“Pencobaan membuat sebagian orang jatuh,
tetapi sebagian orang lagi menggunakannya sebagai tangga menuju keberhasilan.
Walaupun ayahmu sekarang meninggalkan ibu, tapi ibu tidak akan menyerah. Ibu
akan berusaha.”
Rea
diam. Ia membenarkan perkataan ibunya. Rea yakin ayahnya akan berubah. Ia tidak
menanyakan apa – apa lagi pada ibunya.
“Tuhan tidak pernah mempertanyakan
kemampuan dan ketidakmampuan kita, melainkan kesediaan kita unuk berusaha.
Yakinlah, Tuhan pasti buka jalan.”
Rea
memeluk ibunya, ia bangga dengan ketegaran hati ibunya. Kata – kata ibunya
membuatnya tenang. Ia tersenyum.
Dokter
Risma masuk. Ia tersenyum menatap Rea, lalu ia mengajak ibu Rea ke ruang
kerjanya.
“Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan,
anak ibu didiagnosa mengalami gagal ginjal.” Dokter Risma memberi penjelasan.
“Gagal ginjal dok?” ibu Rea sangat terkejut mendengarnya.
“Ya..Kami menyarankan agar melakukan
transplantasi ginjal secepatnya.”
“Baik dok. Saya permisi dulu.”
Ibunya
keluar dari ruang dokter. Ia masih tak percaya anaknya mengalami gagal ginjal.
Rea sudah tak sabar ingin mengetahui
hasil pemeriksaan penyakitnya. Ia ingin langsung menanyakan pada ibunya, namun
ibunya tampak sedih. Ia tak siap mendengar jawaban ibunya. Ia menatap ibunya.
Ibunya masih diam. Rea semakin takut, ia benar – benar tidak siap.
“Aku menyayangi ibu apapun yang
terjadi.” Rea menatap ibunya.
“Jangan pernah menyerah,” ibunya
masih bingung untuk memberitahu Rea.
“Dokter bilang kamu mengalami gagal
ginjal Re,”
“Gagal ginjal, Bu?”
“Ibu jangan bilang siapa – siapa ya,
termasuk ayah.” ibunya mengangguk dan memeluknya.
“Ibu pergi dulu ya, kalau ada apa –
apa telfon ibu.”
Rea sendirian. Ia merenungkan kata –
kata ibunya, berusaha meresapi setiap kata demi kata yang diucapkan ibunya.
Tiba – tiba ekspresinya berubah. Senyum mengembang di bibirnya.
“Ya.. Ibu benar. Aku tidak boleh
egois.”
Rea
lalu mengambil handphone dan
mangaktifkannya. Ada beberapa pesan dari teman – temannya, termasuk Reni.
Mereka menanyakan kenapa Rea tidak pernah masuk sekolah beberapa hari ini. Rea
hanya tersenyum.
“Reni,
maaf ya soal kemarin. Aku lagi ada sedikit masalah jadi nggak bisa mengontrol
emosi. Maaf banget ya.” Rea mengetikkan pesan dan mengirimkannya.
Rea
tidak menyinggung soal mama Rea. Ia tidak ingin masalah ini merusak
persahabatannya. Ia masih menyimpan rahasia itu sendiri.
***
Sudah
5 hari Rea tidak masuk sekolah. Ia masih dirawat di rumah sakit. Namun tidak
ada teman yang tahu kondisinya saat ini. Ia masih merahasiakannya.
Hari
itu adalah jadwal Rea melakukan transplantasi ginjal. Rea hanya ditemani
ibunya. Ia berusaha tegar di depan ibunya, walaupun sebenarnya ia sangat takut.
“Bu…maafkan
Rea udah banyak salah sama ibu. Tanpa ibu Rea tak akan sekuat ini. Terimaksih
buat semua pengorbanan ibu. Andai ayah juga ada di sini, sisa rasa takutku akan
lenyap. Rea berharap saat Rea membuka mata nanti, ayah ada di sini. ”
Rea
menangis. Air matanya membasahi mukanya yang pucat. Ibu Rea memeluknya erat. Ibu
Rea tak mengatakan apa – apa. Ibunya merasakan ketakutan Rea. Ia juga berharap
ayah Rea ada bersamanya saat ini.
Rea
sudah berada di ruang operasi. Ibu Rea memandangnya dari luar. Ia khawatir.
Namun ia percaya bahwa Tuhan akan menolongnya. Ibu Rea terus berdoa. Ia tak
menyadari kalau ayah Rea ada di belakangnya juga. Ibu Rea terkejut ketika
membalikkan badan.
“Ayah.. Ayah datang?”
Ya.
Ibu Rea memberitahu suaminya bahwa Rea sakit. Namun ia tidak tahu kalau
suaminya akan datang. Karena saat diberitahu, suaminya tidak memberikan respon
apapun.
“Terimakasih, kamu masih peduli sama
Rea.”
Ayah
Rea tersenyum. Senyum itu tulus dan penuh arti.
“Maafkan
aku... Selama ini aku salah. Kebahagiaan tidak kudapat di luar… Tapi bahagia
yang sebenarnya adalah bersama kalian. Maukah kau memaafkanku?”
***
Rea sudah sadar. Ia sudah dipindahkan
ke kamar rawat inap. Reni berbinar saat Rea membuka mata. Rea sempat kaget,
saat melihat Reni ada di situ.
“Reni… Kamu kok tahu aku di sini?
Ibuku mana?”
“Ibumu meneleponku, aku disuruh
datang kesini nemenin kamu. Katanya ada urusan sebentar. Lagian kenapa kamu
nggak bilang kalau kamu sakit?” protes Reni.
“Aku nggak mau ngrepotin.”
“Oia… gimana kabar mama kamu?”
“Baik kok… kenapa tiba – tiba
nanyain mamaku?” Tanya Reni heran.
“Nggak kok…”
Tiba
– tiba office boy rumah sakit itu
datang, ia mempersilahkan seseorang masuk.
“Ayah….”
Ayah
Rea mendekatinya. Rea memperhatikan ayahnya, ayahnya mengenakan pakaian
pengantin. Ia juga heran karena ayahnya menggunakan kursi roda.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya ayahnya
“Ayah mau menikah lagi?” mata Rea
berkaca – kaca, ia tak menghiraukan pertanyaan ayahnya.
“Apakah kamu keberatan?”
Rea
diam. Ia tak mengerti apa maksud kedatangan ayahnya memakai baju pengantin
seperti itu. Mungkin hanya ingin membuat luka di hatinya lagi, pikirnya.
“Apakah kamu keberatan kalau ayahmu
menikahi ibu lagi?” Ibu Rea muncul dengan mengenakan baju pengantin dengan
warna yang sama seperti ayahnya.
Ayah
dan ibu Rea belum bercerai, namun mereka ingin memberi kejutan untuk Rea dengan
memakai pakaian itu.
“Rea…kita akan sama – sama lagi,
seperti dulu.” ibunya meyakinkan Rea.
“Jadi…” Rea tidak melanjutkan kata –
katanya. Ia menangis haru.
“Ayahmu juga yang mendonorkan
ginjalnya untukmu.”
Rea
memeluk ayahnya. Ia tak mengira ayahnya akan melakukan hal itu untuknya.
“Ayah… trimakasih. Ayah telah
menutup luka itu dengan sempurna.”
“Tidak Rea, ayah yang
berterimakasih… Ayah beruntung memiliki kalian berdua. Kalian seperti permata
yang ayah buang, lalu ayah temukan kembali. Walaupun ayah sudah membuat kalian
kecewa, tapi kalian tetap menyayangi ayah.”
***
*Pengorbanan
tidak dinilai dari hasilnya saja, tetapi seberapa besar usaha untuk
melakukannya.
*Kebaikan
yang tiada henti dapat mengerjakan banyak hal. Seperti matahari yang melelehkan
es, kebaikan akan membuat pertengkaran dan kekecewaan menguap.